11 March, 2009

Trilogi Gadis Tangsi "Kerajaan Raminem"


Tak sengaja saya beli buku ini, waktu itu mau pulang ke Bogor, sengaja mampir di tukang jual buku "lapak tepatnya" di bawah fly over Cawang UKI. Tak ada niat beli malahan sebenarnya, ya pengin lihat-lihat saja, bosen dengan buku manajemen dan motivasi yang selama ini selalu mengisi tas dan terbawa kemana-mana, eh..lha kok ada buku serial murah. Coba balik resensi di cover belakang ternyata bagian kedua dari trilogi gadis tangsi, pernah dengar sih sebelumnya tapi tak kenal itu siapa Suparto Brata, kalau ahlinya ...logi-logian ya Pramoedya Ananta Tour lah, atau yang baru ngepop dari ranah Belitong Andrea Hirata. Yah...itung-itung buang kejenuhan dengan referensi manajemen dan motivasi lah, ambil 2 buah Kerajaan Raminem dan Mahligai di Ufuk Timur, sayank memang tidak diawali dari seri pertama.

Rentang baca buku ini pun cukup lama untuk kelas buku cerita yang asyik, sebagai perbandingan saya lahap Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata cukup 2 malam, lanjut dengan Edensor 3 hari, trus waiting list Maryamah Karpov dan begitu ada di tangan tak sampai 5 hari terlahap tanpa sisa. Memang belum langsung "tunjeb poin" awalnya dengan bentuk cerita, tokoh, alur, setting kota Sumatra dan misi penulis sendiri. Tapi begitu sampai pada halaman diatas 79, langsung tancap gas meneer, tutur ceritanya yang gemlundung apa adanya begitu enak diikuti dan diselingi dengan beberapa istilah Belanda jadi daya tarik tersendiri. Berikutnya adalah cara Suparto Brata sendiri dalam menghidangkan kehidupan begitu khas "Jowo Tengahan" guyon-gemuyonannya, clathu-clathuane, pisuh-pisuhan, ular-ular, sampai dalam hal kegiatan ranjang pun demikian khas "wong ndeso". Aku sebagai orang Jawa pun seperti terseret ke masa kecil dulu di kampung Mlowo Karangtalun dan Pojok, Purwodadi Grobogan sana, dimana kebudayaan dan pola pergaulan orang-orangnya ya sama persis seperti dalam buku ini.

Dimulai dari kegegeran Tangsi Belawan yang harus segera dikosongkan oleh para kumpeni berikut istri dan anak-anaknya, karena serangan Nippon sudah dekat. Sampai akhirnya terdampar di Tangsi Lawe Sagala-gala dan balik lagi ke Tangsi Kabanjahe, pertengkaran dan pertikaian perempuan jawa bodho yang sangat kental disuguhkan dengan apik,diselingi juga dengan gugon tuhon dan kisah filosofis pewayangan. Sampai akhirnya kehidupan para pelaku yang semakin melarat karena Nippon benar-benar berkuasa. Uang Belanda menjadi tidak laku lagi di Medan, masing-masing pun harus mengenakan identitas tulisan huruf kanji yang tidak boleh lepas dari badan agar aman ketika diverifikasi oleh tentara bertubuh kate itu.

Tokoh utama dalam sekuel Kerajaan Raminem adalah Raminem sendiri dan kedua anak perempuannya; Teyi yang cerdik, cantik dan pekerja keras serta adiknya Tumpi yang masih polos. Keinginan ketiganya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Ngombol, Purworejo, Kedu Selatan, Tanah Jawa Dwipa akhirnya terlaksana dengan bantuan Manguntaruh (adik Wongsodirjo, sekaligus pembunuh Wongsodirjo, karena gandrung dengan Raminem). Dengan kerja keras dan keuletan tiga tokoh utama ini akhirnya "Kerajaan Raminem" itu berdiri kokoh di Desa Ngombol, kemaslahatan warga Ngombol juga ikut terangkat dengan berdirinya kerajaan ini.

Penokohan dan alur cerita sastra Jawa yang kental di buku ini tak sedikitpun mengurangi muatan filosofis dan pesan moral yang diusung Suparto Brata. Kehidupan memang keras, orang mau mukti tidak bisa dicapai dengan ongkang-ongkang sikil trus mak gedabruss gludak langsung mukti, sopo nandur kebecikan yo bakal ngunduh kamukten (siapa menanam kebaikan maka beitu pula akan menuai kebahagiaan). Kepahitan memang jadi daya lecut untuk lebih cepat bergerak tanpa niat menghalalkan segala cara apalagi sampai gawe cacating liyan. Teyi pun masih bisa menyisihkan rizkinya pada Pakde, Mbokde dan Lik Sumi tanpa roso eman saat masih njejegke cagak "Kerajaan Raminem". Sastra dan nilai adiluhung Kejawen terangkat tinggi dalam novel ini, gak peduli dia Islam, Abangan atau gak nggenah padane pun akan dapat pangestunipun Gusti Allah jika niatnya tulus, baik lan ora gawe sengsarane liyan.

"Ketidakadilan itu hanya milik Tuhan" inilah ucapan Teyi yang melekat di hati saya. Kita hidup cenderung melihat dari sisi gelapnya, "alah...paling-paling dapat warisan, pelihara Tuyul kali", itulah jamak lumrahnya komentar, setiap kesuksesan selalu dilihat dari sisi paling sederhana dari sudut pandang instant. Cobalah lihat lebih dalam, pasti prosesnya tidak segampang membalik telapak tangan dan dalam perjalanannya pasti ada saja riak-riak kecil cobaan, kebingungan, sinisme sesama, iri dengki atau srengki kata orang Jawa dan pelajaran-pelajaran yang terus bisa digunakan sebagai batu pijakan yang lebih kokoh. Disitulah kemuliaan manusia teruji dan terseleksi, apakah dia bibit unggul yang bisa terus dilestarikan zaman ataukah mung pah-poh "pupuk bawang" thok yang akan terlahap zaman. Satu analogi sederhana Teyi begini, kita lihat Gunung Merbabu dari Salatiga pasti orang Salatiga akan bilang Gunung Merbabu ada di sebelah Selatan. Sedangkan orang Magelang bilang ada di sisi Timur dan orang Kaliurang Yogyakarta akan bilang Gunung Merbabu ada di sisi utara. Coba kalau kita orang Klaten memaksa orang Salatiga untuk menerima nalar bahwa Gunung Merbabu iku ning sisih Kulon (di sebelah Barat), opo rak yo bubrah tatanane (apa ya nggak rusak kehidupan pergaulan masyarakatnya. Itulah kehidupan, kepenak ora kepenak tergantung dari mana kita memandang, menyikapi dan mensyukurinya. Jangan mengeluh dan merasa tidak dipedulikan oleh Tuhan sebelum anda benar-benar lumpuh tak berdaya menjentikkan jari.

Terima kasih Pak Suparto Brata atas karya emasnya, lanjut pada cita-cita Teyi berikutnya dalam mencari pegangan hidup (cinta sejatinya ke Kasunanan Kartosuro) pada sekuel ketiga "Mahligai di Ufuk Timur". Semoga bermanfaat dan njunjung dhuwur (mengangkat tinggi) nilai-nilai luhur nan adiluhung filosofis ajaran dan sastra Jowo.

No comments: