21 November, 2008

Renungkan kembali "mimpi agung" kita...


Sakit, sehat, senang, susah, lega, terhimpit; itulah beberapa rasa yang selama ini terasa. Kadang menggebu-gebu, kadang apa iya-ya tidak ada cara yang lebih mudah, cara yang lebih terang?

Memang benar cerita dari kawan, kamu hidup harus punya tujuan atau lebih gila lagi kamu hidup harus punya mimpi!!! Meski ada satu kawan yang pernah mengingatkan "...jangan terbuai terus dalam mimpi..." Kujawab lagi : "Lho, tapi memang kita hidup ini harus punya mimpi Bung. Justru dengan mimpi itulah yang akan bikin kita punya semangat untuk meraihnya, sehingga hidup ini bisa meloncat dari tahap yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa!" Sang kawan pun menenangkan : "Betul Bung, mimpi itu penting. Tetapi mimpi yang bagaimana?"

Nah, sekarang mari kita renungkan apa maksud kata "mimpi yang bagaimana?" Menurut pemikiranku pijakan mimpi itulah yang jauh lebih penting atau dengan kata lain dasar akal sehatnya apa, kita menentukan sesuatu itu menjadi "mimpi agung" kita. Inilah yang menjadikan suatu mimpi itu akan terus menjadi "awan kinton" yang terus mengakselerasi diri atau hanya kan menjadi "angin sepoi-sepoi" yang membuaikan hidup.

Dasar ini menjadi sangat penting, karena semakin bulat dasarnya semakin sakit latar belakangnya penetapan "mimpi agung" itu maka semakin keras nan mengkristalah hati dan tekad kita untuk menggapainya. Apapun caranya, apapun sulitnya, seberapapun ongkos sakit dan keringat maupun perasaan dan hati yang harus terkorbankan; jalan terjal itu akan terasa indah dan menantang pematangan diri (jam terbang kehidupan). Tercapai atau tak tercapai bukan urusan penetap mimpi, tetapi kebajikan diri dalam memperjuangkan "mimpi agung; apapun itu" akan menjadi pengisi kerangka evolusi umat manusia seutuhnya.

Jadi, jangan tentukan "mimpi agung" kita dengan dasar emosi, dasar kedengkian, ingin pamer diri, sukses instan dan teman-temannya. Dasar ini (pengalaman penulis) tak akan mempunyai kekuatan untuk mencengkeram bulatan hati kita. Hati kita butuh suatu rasa sesak; sesesak-sesaknya, sehingga kita tidak terjebak pada suatu rutinitas hidup yang menyamankan, yang membuat kita lupa bahwa di luar kandang sana sudah banyak orang yang melompat, menata diri, terbang bersama orang-orang yang dicintai dan mengisi kerangka evolusi manusia ini dengan kebajikan.

Dus, renungkan lagi "mimpi agung" kita. Cermatkan hati kita dan siapkan harga tunai dari "mimpi agung" tersebut sampai paripurna tugas kita sebagai khalifah Allah di muka bumi. Kita masing-masing punya kewajiban untuk membangun surga dalam kerangka evolusi ini, jika dalam kehidupan saat ini gagal maka kesempatan kita untuk mambangun surga akan terus datang di masa-masa yang akan datang (Ahmad Chodjim).
Pertanyaannya : Mau sampai kapan kita akan memparipurnakan diri ???