13 July, 2009

Jusuf Menang

Hm....sudah sangat luama sekali aku tidak update kembali resensi hati ini. Pemilu Presiden telah lewat dan terjadi dengan damai dan lancar meskipun masih ada saja berita yang "kurang legowo". Sedikit nukilan resensi Ahmad Baedowi di Media Indonesia edisi 13 Juli 2009 ini mungkin sedikit bisa dijadikan bahan renungan sebagai awal kembali kehidupan laman resensi hati ini.
____________________________________________________________

Coba kita terawang secara batin dan sembunyi-sembunyi, proses pendidikan seperti apa kira-kira yang pernah diterima Pak Jusuf Kalla ketika di sekolah dulu? Lantas kalau kita tanyakan langsung kepada beliau, mana yang lebih besar pengaruhnya, lingkungan pendidikan formal di sekolah atau lingkungan pendidikan di rumah atau keluarganya yang mampu membentuk mental model seorang Jusuf Kalla sehingga memiliki kecerdasan emosi yang luar biasa dalam menerima hasil pemilihan presiden? Saya cenderung dan condong untuk memilih bahwa pendidikan di rumah/keluargalah yang lebih banyak membentuk pribadi Jusuf Kalla yang berjiwa besar, polos, antihipokrit dan tegas.

Dari aspek kompetensi, pribadi Jusuf Kalla juga menyiratkan dua hal sekaligus, yaitu kompeten di bidang ekonomi yang dikuasainya (a hard dimension)dan pada waktu yang bersamaan beliau juga memiliki sikap dan sifat yang elegan sebagai seorang negarawan yang menjunjung tinggi budaya negeri (a soft skill dimension). Karena itu, definisi kompetensi menurut Naresh Makhijani "competency can essentially be defined as having both job-related technical skills (a hard dimension) as well as attitudinal adan behavioral components (a sof dimension)" sangat pas dengan perilaku dan sikap kewarganegaranan Jusuf Kalla yang mengedepankan rasa persatuan kebangsaan. Hal itu sangat terlihat dari dialog Jusuf Kalla dengan SBY pasca pemilihan presiden beberapa hari yang lalu, ketika keinginan untuk menjalin tali silaturahim lebih kental daripada memelihara rasa "permusuhan" dan "persaingan" untuk menjadi presiden.

Pak Jusuf, dari perspektif pedagogis, telah mengajarkan banyak hal kepada para guru dan siswa di sekolah. Dalam tiga kali kesempatan debat calon presiden dan satu kali diskusi dengan Kadin misalnya, Pak Jusuf Kalla terlihat tampil sangat antusias, penuh percaya diri, dan sangat jelas dalam memaparkan visi dan misinya. Beliau berani mengungkapkan fakta meski telinga orang lain akan merah jika mendengarnya. Dalam bahasa agama, mengatakan sesuatu yang hak (benar) adalah kebenaran itu sendiri, meskipun sakit untuk mengatakan dan merasakannya (quill haq walau kaana murron). Tentu saja contoh sikap tegas semacam itu penting bagi para guru untuk mentransfernya ke dalam relung jiwa para siswa mereka.

Ada contoh lain dari pribadi Pak Jusuf yang juga penting dan patut ditiru civitas akademika di sekolah dan perguruan tinggi, yaitu sifat respek, mau menghargai dan mengakui kelebihan orang, dalam hal ini ketika beliau memberikan ucapan selamat kepada SBY atas kemenangan sementaranya versi quick count sebagai presiden. Orang dengan kecenderungan sikap dan sifat semacam itu tentu saja akan merasa jauh dari kekurangan, jauh dari rasa kalah dan akan terus menjadi pemenang. Bukankah seorang pemenang sejati adalah mereka yang lebih banyak memberikan orang lain kesempatan untuk menunjukkan pengabdiannya dengan tulus dan ikhlas? Karena itu layak jika para guru mau memetik pelajaran berharga ini dan menjadikan sikap respek atau menghargai orang lain sebagai substansi bahan ajar yang harus ditumbuhkan dalam budaya sekolah kita.

Kalaupun kita mau jujur dalam mencari tahu penyebab kekalahan Jusuf Kalla, menurut hemat saya, letaknya juga tak jauh dari masalah pendidikan. Andaikan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia saat ini lebih dari 50% minimal lulusan SMA saja, mungkin ceritanya akan menjadi lain. Saya haqqul yakin bahwa Jusuf Kalla pasti memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi dikalangan scholar yang dekat dengan perspektif ilmiah dan rasional. Namun, sayangnya tak ada data yang pasti dan ditunjukkan para lembaga survei tentang aspek ini. Data yang pasti ada adalah bahwa tingkat pendidikan para pemilih di Pulau Jawa saja misalnya, sekitar 54% adalah hanya lulusan SD dan berusia diatas 50 tahun. Dan dalam beberapa hal, pemilih dengan tingkat pendidikan yang rendah ini memang cukup diberi janji ala ratu adil saja sudah cukup, tanpa perlu memberikan alasan serba rasional, misalnya, mengapa bangsa ini tak kunjung maju setelah 63 tahun merdeka?

Jelas sekali bahwa potret pendidikan berkaitan dengan tingkat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Karena itu, sebenarnya memang sangat tidak relevan untuk mengategorikan tipe calon pemimpin di Indonesia dengan pendekatan agama, suku bangsa, ataupun trah tertentu seperti anak bekas presiden atau raja dan sebagainya. Demokrasi Indonesia harus dibangun dengan budaya yang rasional hanya akan lahir dari sekolah-sekolah yang sehat, sistem pendidikan yang juga sehat dan terbebas dari birokrasi feodal ala raja-raja era Sriwijaya dan Majapahit.