15 April, 2009

7 Kurcaci Pelindung Anak Cantik


Anak yang cantik selalu dikelilingi oleh 7 kurcaci yang baik. Kurcaci ini selalu ikut kemanapun si anak cantik bermain, ketika anak cantik tidur pun dengan setia ketujuh kurcaci ini selalu tersenyum menjaga mimpi indahnya sampai terbangun kembali. Kurcaci tidak pernah makan atau minum, juga tidak pernah punya keinginan, setiap detik hidupnya selalu dilakukan untuk menjaga kesehatan dan senyum manis si anak cantik. Kesehatan ketujuh kurcaci ini akan semakin membaik jika si anak cantik tumbuh sehat, pintar & riang selalu. Sementara anak cantik lagi sakit atau menangis maka ikut sedih pula lah ketujuh kurcaci ini sehingga kesehatannya juga ikut menurun.

Pokoknya apapun yang terjadi 7 kurcaci akan selalu mengabdikan hidupnya untuk kebahagiaan anak yang cantik. Pagi hari Mama si anak cantik sudah bangun, dengan sigap pula kurcaci yang terbangun segera membangunkan keenam teman-temannya.
"Hey...kawan, Mama anak cantik sudah bangun, kita harus membantu Mama buat sarapan untuk anak cantik." demikian seru si kurcaci yang berwarna hijau.
"Ok...siapa takut." jawab mereka serentak.
Plethak!!! Suara kompor gas sudah dinyalakan sang Mama. Kurcaci merah sudah siap meniup api agar panasnya merata dan cepat masak sarapan anak cantik. Kurcaci coklat tidak lupa mengingatkan Mama untuk membuat pudingnya, Kurcaci ungu menajamkan pisau dan menyiapkan peralatan logam dapur lainnya. Sementara kurcaci hijau menyiapkan sayurnya, tinggal si kurcaci kuning, orange dan biru yang masih di tempat tidur menjaga anak cantik.

Air untuk merebus makanan anak cantik sudah mendidih berkat api yang ditiup oleh kurcaci merah, maka serentaklah ketujuh kurcaci masuk kedalam panci bersamaan dengan sayur dan daging mentah yang dimasukkan Mama. Kurcaci menari-nari, melompat kesana-kemari dalam panci sambil tertawa keraaaas sekali, seiring dengan tarian dan lompatan kaki kurcaci inilah daging tersebut menjadi lunak dan wangi sehingga menyehatkan bagi anak cantik.
"Hey...biru, jangan main air begitu nanti kena Mama." teriak si orange.
"Diam semua, suara apa itu? Hey, anak cantik bangun!"
Sontak si coklat dan biru melompat dari panci menuju kamar tidur.
"Oh...sudah ada ayah, kita lanjutkan saja menarinya." bisik keduanya.

Begitu terus setiap pagi kegiatan rutin ketujuh kurcaci, canda tawa riang selalu mewarnai hari-hari mereka. Mereka terus bernyanyi dan tersenyum bahkan saat anak cantik cemberut.
"Hey...cantik, janganlah menangis, teruslah bermain dan bergembira, belajarlah selalu dengan Ayah dan Mama agar kau pintar!" nasihat mereka pada anak cantik.

bing bing go...
bing bing go...
kami kurcaci yang baik hati, suka menyanyi, menghibur hati anak yang cantik
bing bing go...
bing bing go...
(inilah nyanyian ketujuh kurcaci ketika menemani anak cantik makan atau bermain)

Menimba Syukur


Kita memang terlalu mudah silau dengan keadaan sekitar, begitu pula mudah silau dengan kecemerlangan diri kita sendiri. Inilah salah satu pola hidup kita yang membuat warna pergaulan dunia ini menjadi sedemikian dinamis. Ketika kita masih berjuang menapak tangga keberhasilan, setiap desah nafas dan tetesan peluh kita rasakan demikian bermakna, kita bisa menghargai kerja keras kita dan menghayati setiap jengkal prosesnya demikian nikmat. Bahkan kadang terlupa oleh kita bahwa kenikmatan setiap tingkat keberhasilan itu juga ada hak orang lain untuk ikut merasakannya agar kita tetap di bumi dan tidak terus terbuai oleh birunya langit yang tiada batas.

"Lupa..." ah, itu mah biasa. Kalau "lupa diri..." itu juga biasa, lantas apa dong yang tidak biasa? Yang luar biasa adalah "Sadar diri", lupa apapun itu sekali atau dua kali dapat diwajarkan tapi kalau sampai tiga kali lebih, hm...kata Bung Rhoma Irama itu mah luar biasa. Baik, ada baiknya jika kita sulit menerima prinsip bahwa kita ini bukan siapa-siapa, kita ini adalah khalifah di bumi yang berkewajiban menciptakan surga di bumi ini, ingat-ingat sajalah saat kita masih di dasar tangga terbawah. Ibarat tangga itu terus menanjak kearah langit pastikan dalam mindset kita pada titik berapakah kita berangkat, camkan dan resapilah keadaan titik nol itu, terlepas apakah kita saat ini baru mulai mau menapak tangga pertama ataupun kita sudah beberapa ratus anak tangga diatas.

Jadikanlah titik nadir itu sebagai standard diri kita, Insyaallah dengan begitu kita akan selalu teringat seberapa sih sebenarnya derajad kita ini (untuk diri sendiri lho..ya, bukan untuk dibandingkan dengan orang lain). Standard itu akan selalu tercermin dalam perilaku dan pikiran kita dalam mengambil setiap keputusan sebelum kita mewujudkannya dalam perbuatan. Dan akhirnya setiap kita menapak satu tingkat lebih tinggi, wujud syukur itu selalu terlontar, kita akan selalu memposisikan diri kita saat di titik awal bukan pada titik saat ini. Jadi kita akan merasa semakin kasihan dengan diri kita yang semakin jauh tertinggal di bawah saat kita satu tingkat kembali naik ke atas, nah...rasa kasihan inilah yang akan kita wujudkan dalam menolong setiap orang yang membutuhkan dan rasa kasihan ini juga akan menjadi kendali pengekang kita untuk tidak riya dan takabur.

Apa yang mau disombongkan coba, toh...posisi diri kita juga ada di bawah sana, yang harus terus kita kasihani sendiri. Demikian pula kita akan mengeluarkan setiap apapun itu, baik materi, perkataan, perbuatan, keputusan dan lainnya berangkat dari keadaan kita yang asli dititik awal. Maksudnya seandainya satu saat kita jatuh terjerembab ke depan atau terjengkang kembali ke belakang rasa sakit itu tak bikin kita mati gaya sebelum saatnya datang.

Semoga bermanfaat dan menjadi renungan sendiri........

06 April, 2009

Mahligai di Ufuk Timur


Selesai sudah proyek 2 buku Trilogi Gadis Tangsi sekaligus selesai sudah peran seorang Teyi dalam novel budaya Jawa ini. Diluar pakem yang kuperkirakan, tak seperti Kuartet Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Tour, Trilogi Gadis Tangsi ini ditutup dengan happy ending. Satu orang tokoh pejuang nasional atau pejuang kemerdekaan lebih tepatnya kukira masuk pula dalam novel terakhir ini, memang Suparto Brata menyebut tokoh tersebut dengan nama berbeda namun kukira maksudnya tidak salah adalah Jenderal Ahmad Yani, mengingat settingnya di Purworejo; kalau tidak salah adalah tempat kelahiran sang jenderal pahlawan revolusi itu dan dalam novel ini tercatat berlatar masa pra kemerdekaan ketika beliau masih aktif di PETA.

"Mahligai di Ufuk Timur" judul ini begitu pas menggambarkan isi dari akhir buku trilogi ini. Cita-cita seorang Teyi yang telah berhasil menjadi Den Rara Teyi membangun kokohnya Kerajaan Raminem untuk mencari jodohnya, menemukan cintanya, melanjutkan pemikiran besarnya serta menepati janjinya bertemu Ndara Mas Kus Bandarkum di Istana Jayaningratan Surakarta. Kisah percintaan dalamhingar bingar rindu suasana pertemuan dan diskusi panjang mengungkap tuntas kebudayaan bangsa Jawa secara gamblang. Cerita ini berlatar tahun 1940-an ketika pendudukan bangsa Jepang dimana rakyat Jawa hidup dalam masa kekurangan sandang dan kemunduran budaya, diperparah lagi warisan Belanda yang tidak membekaskan gores pendidikan baca tulis sama sekali bagi rakyat kebanyakan. Budaya unggah-ungguh Keraton Surakarta yang begitu adiluhung pun mulai tersapu, oleh karena itu persatuan kedua insan ini dinyatakan sebagai perkawinan di awal zaman laksana terbitnya matahari di ufuk timur. Budaya Jawa yang harus diselamatkan kelestariannya dengan munculnya zaman modern, sehingga mau tidak mau harus segera bertindak memberikan pendidikan baca tulis pada generasi itu sebanyak-banyaknya demi lestarinya budaya adiluhung bangsa Jawa dan mempersiapkan diri menjadi bangsa Indonesia yang merdeka.

Roman "bumbu" cerita yang menceritakan pergaulan dan keadaan umum masyarakat desa jawa saat itu tetap begitu mengalir enak diikuti dalam buku terakhir ini. Menyenangkan juga ada novel yang akhirnya menghukum yang jahat dan mengangkat derajad yang benar seperti karya Suparto Brata ini. Tanpa mengurangi sisi intelektualitasnya, buku ini memang buku cerita murni yang begitu lugas apa adanya, tebal tapi ringan, ceritanya ringan tapi muatan moralnya begitu dalam. Pesan moral yang dilesakkan Suparto Brata dalam karya ini begitu sederhana, mudah dimengerti dan sangat luar biasa terutama bagi orang Jawa asli seperti saya.

Pesan moral yang saya tangkap "sopo nandur kebecikan, bakal ngunduh wohing pekerti." Teruslah berjuang, bekerja keraslah, ringan tanganlah terhadap sesama, hapuslah kata dendam dalam hati, belajarlah terus menuju tiap tingkatan kepintaran baru dalam hidup dan jangan lupa luaskan jejaring kebaikan....

01 April, 2009

"PANCASILA"


PANCASILA :
(1) Ketuhanan yang maha esa
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3) Persatuan Indonesia
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia