15 April, 2009

Menimba Syukur


Kita memang terlalu mudah silau dengan keadaan sekitar, begitu pula mudah silau dengan kecemerlangan diri kita sendiri. Inilah salah satu pola hidup kita yang membuat warna pergaulan dunia ini menjadi sedemikian dinamis. Ketika kita masih berjuang menapak tangga keberhasilan, setiap desah nafas dan tetesan peluh kita rasakan demikian bermakna, kita bisa menghargai kerja keras kita dan menghayati setiap jengkal prosesnya demikian nikmat. Bahkan kadang terlupa oleh kita bahwa kenikmatan setiap tingkat keberhasilan itu juga ada hak orang lain untuk ikut merasakannya agar kita tetap di bumi dan tidak terus terbuai oleh birunya langit yang tiada batas.

"Lupa..." ah, itu mah biasa. Kalau "lupa diri..." itu juga biasa, lantas apa dong yang tidak biasa? Yang luar biasa adalah "Sadar diri", lupa apapun itu sekali atau dua kali dapat diwajarkan tapi kalau sampai tiga kali lebih, hm...kata Bung Rhoma Irama itu mah luar biasa. Baik, ada baiknya jika kita sulit menerima prinsip bahwa kita ini bukan siapa-siapa, kita ini adalah khalifah di bumi yang berkewajiban menciptakan surga di bumi ini, ingat-ingat sajalah saat kita masih di dasar tangga terbawah. Ibarat tangga itu terus menanjak kearah langit pastikan dalam mindset kita pada titik berapakah kita berangkat, camkan dan resapilah keadaan titik nol itu, terlepas apakah kita saat ini baru mulai mau menapak tangga pertama ataupun kita sudah beberapa ratus anak tangga diatas.

Jadikanlah titik nadir itu sebagai standard diri kita, Insyaallah dengan begitu kita akan selalu teringat seberapa sih sebenarnya derajad kita ini (untuk diri sendiri lho..ya, bukan untuk dibandingkan dengan orang lain). Standard itu akan selalu tercermin dalam perilaku dan pikiran kita dalam mengambil setiap keputusan sebelum kita mewujudkannya dalam perbuatan. Dan akhirnya setiap kita menapak satu tingkat lebih tinggi, wujud syukur itu selalu terlontar, kita akan selalu memposisikan diri kita saat di titik awal bukan pada titik saat ini. Jadi kita akan merasa semakin kasihan dengan diri kita yang semakin jauh tertinggal di bawah saat kita satu tingkat kembali naik ke atas, nah...rasa kasihan inilah yang akan kita wujudkan dalam menolong setiap orang yang membutuhkan dan rasa kasihan ini juga akan menjadi kendali pengekang kita untuk tidak riya dan takabur.

Apa yang mau disombongkan coba, toh...posisi diri kita juga ada di bawah sana, yang harus terus kita kasihani sendiri. Demikian pula kita akan mengeluarkan setiap apapun itu, baik materi, perkataan, perbuatan, keputusan dan lainnya berangkat dari keadaan kita yang asli dititik awal. Maksudnya seandainya satu saat kita jatuh terjerembab ke depan atau terjengkang kembali ke belakang rasa sakit itu tak bikin kita mati gaya sebelum saatnya datang.

Semoga bermanfaat dan menjadi renungan sendiri........

No comments: